Memutar Badai Pasti Berlalu (1977) Lagi
2 minggu sebelum 14 November, Denny
Sakrie dalam salah satu tweetnya menyatakan bahwa dia dipilih kembali menjadi
moderator untuk acara diskusi pemutaran kembali film era-70 yang fenomenal,
Badai Pasti Berlalu di kampus Universitas Indonesia. Saya antusias untuk hadir
di acara tersebut. Karena sebelumnya di 15 Desember 2013 dalam acara yang tak
juga berbeda, “Putar kembali Guruh Gipsy dan OST.Badai Pasti Berlalu” saya
tidak bisa hadir, dikarenakan sangat baru pulang dari seberang.
Sebenarnya saya tidak terlalu
mengerti film, apalagi situasi film Indonesia di era tersebut. Bahkan saya
lebih dulu menonton remake film ini yang dibintangi Vino, sebelum menonton
versi pertamanya. Hanya saja sudah beberapa bulan terakhir ini saya berusaha menelusuri dan mencari-cari
arsip-arsip film 70 & 80, dan pastinya kalau berbicara demikian, film ini
sudah lekat dan tak bisa dipisahkan dari kategori tersebut. Sangat sayang kalau
tidak menonton film paling fenomenal di masanya ini.
Film yang di adaptasi dari novel
yang sukses juga di pasaran karya Marga T berjudul sama ini mempunyai cerita
yang luar biasa, sesuatu yang tak saya temukan di era perfilman sekarang. Film
yang dibesut alm. Teguh Karya ini bercerita tentang Siska (Christine Hakim)
menjadi apatis dan lebih senang menyendiri semenjak ditinggal oleh tunangannya
yang memilih perempuan lain, dalam situasi tersebut datang Leo (Roy Marten)
mahasiswa kedokteran yang juga temannya Jon, kakak lelaki Siska. Awalnya Leo
mendekati Siska hanya untuk memenangkan taruhan Rp. 100.000 yang ditawarkan
teman-temannya jika Leo berhasil membuat Siska jatuh cinta. Siskapun jatuh
cinta, dan pada akhirnya Leo juga demikian. Tetapi ketika isu taruhan tersebut
sampai ke telinga Siska, Siska seolah diterpa sebuah badai lagi, kepercayaannya
terhadap laki-laki seolah sirna. Perlahan munculah Helmi (Slamet Rahardjo),
seorang penyanyi di niteclub milik ayah Siska, keduanyapun berkenalan dan Helmi
jatuh cinta terhadap Siska. Liciknya Helmi agar Siska mau menikah dengannya
adalah ketika dia mengancam akan memaparkan kalau sang ayah mempunyai simpanan,
Siska yang tak punya pilihan lain mengiyakan untuk menikah dengan Helmi, dari
pada kabar tersebut sampai ke telinga ibunya yang mempunyai penyakit Jantung.
Rumah tangga mereka tak harmonis lantaran Helmi masih meladeni tante-tante
dimana dia bekerja, sampai akhirnya Helmi di usir Siska dan anak mereka
meninggal tanpa ada Helmi saat itu. Badai demi badai terus menimpa Siska , yang
akhirnya berlalu ketika Leo bersatu dengan Siska.
Datangnya saya ke acara ini karena
saya lebih antusias ingin mengetahui sosok Eros Djarot, yang juga adik kandung
dari Slamet Rahardjo. Bagaimana beliau bisa membuat scorring musik yang jenius
seperti yang di rilis dalam bentuk kaset Badai Pasti Berlalu. Sebuah album yang
menghentak perindustrian pop culture Indonesia saat itu khususnya di bidang
musik. Saya yang tumbuh bersama asupan dari paman seperti The Mercy’s, Panbers
atau D’lloyd yang popular dengan tembang-tembang romantis saat itu, ketika
pertama kali mendengarkan Badai Pasti Berlalu, saya seolah tak percaya kalau
album tersebut di rilis di era 70-an, benar-benar segar. Album tersebut sebagai
penyegar terhadap konstelasi dan khazanah musik Indonesia yang cenderung
itu-itu melulu dan begitu-begitu saja. Tahun tersebut juga dimulailah dengan
apa yang dinamakan Pop Kreatif sebagai tandingan dari arus musik cengeng saat
itu yang cenderung mempunyai keseragaman baik dalam aransemen, musik dan juga
kekuatan lirik. Bersama album Lomba Cipta Lagu Remaja Prambors Rasisonia 1977
yang melejitkan hits Lilin-Lilin Kecil-nya Chrisye, album OST. Badai Pasti
Berlalu memulai Pop Kreartif Indonesia sebagai dasar kredo musisi generasi
selanjutnya. Terima kasih kepada Rolling Stone Indonesia yang merangkum Album
Terbaik Indonesia Sepanjang Masa dan menempatkan album ini di no.1, kalau tidak
begitu mungkin saya hanya akan tahu kalau pelantun lagu Badai Pasti Berlalu itu
adalah Ari Lasso.
Saya datang lebih awal dari open
gate acara tersebut pada pukul 13.30, dimulai dengan sambutan para panitia dan
dilanjutkan pemutaran film tersebut pada jam 14.00. Ini kali ke-3 saya
menontonnya, asumsi awal saya adalah akan mendapat sajian tontonan dalam bentuk
video yang lebih berkualitas, nyatanya sama saja dengan apa yang saya tonton
dari hasil download. Diterangkan oleh pihak panitia kalau tadinya mereka akan
menanyangkan film tersebut denganmenggunakan roll film yang entah dinamakan
apa, tetapi karena ada kendala teknis, mereka hanya mendapatkan digitalnya,
tapi begitulah esensi menonton film lama. Film ini cukup memakan waktu,
berdurasi kurang lebih 100 menit, padahal saya sudah tak sabar untuk segera
mendengarkan diskusi.
Sekitar pukul 4 sore itu, akhirnya
ke tiga orang yang terlibat dalam pembuatan film tersebut datang, konon katanya
Christine Hakim juga diundang, namun karena bentrok jadwal tak jadi datang. Acara
dimulai dengan sambutan Denny Sakrie selaku moderator, yang secara singkat
memberikan asumsinya terhadam film tersebut.
Kemudian acara dilanjutkan dengan
cerita dari masing-masing pembicara saat membuat film tersebut, seperti Roy
Marten yang bercerita saat adegan beliau mencium Christine Hakim dan harus
ditampar, itu dilakukan sampai 17 kali. Padahal yang diambil pada akhirnya
adalah adegan di take pertama. Saat adegan tersebut beliau sangat ngantuk
dikarenakan belum tidur selama 3 hari dan baru datang dari puncak. Saat itu
beliau bermain dalam 4 film sekaligus, yang kadang-kadang membuat kru lainnya
menunggu sampai 3 jam. “Itu Teguh Karya nungguin anak baru kaya saya”, bilang
Roy Marten kepada audience. Roy Marten mengaku diantara pemain film BPB
tersebut, dirinya buakan siapa-siapa, tapi karena kesuksesan film tersebut,
beliau langsung masuk jajaran “The Big Five”, yaitu pemain film yang mendpatkan
bayaran tertinggi saat itu, bersama Yati Octavia, Robby Sugara, Yenny Rahman
dan lupa lagi satunya. Disini saya juga baru tahu kalau Om Roy pernah membuat
album musik, saat itu Denny Sakrie menunjukan album Roy Marten, sebagai penegas
kalau dia tak hanya mumpuni di seni peran, tetapi juga tarik suara. Sebuah
kejadian juga yang mungkin tak dilihat audience lain, Om Roy meminta album
tersebut dari Denny Sakrie, setelah diiyakan beliau langsung memasukannya ke
dalam tas yang beliau bawa.
Kemudian ada Om Slamet Rahardjo,
saya baru tahu kalau di lengan kanan beliau terdapat tato kecil. Beliau
membicarakan tentang gejolak perfilman Indonesia saat itu yang subur secara
kuantitas dan nothing secara kualitas, Badai Pasti Berlalu memberikan berbeda
saat itu tanpa harus buka-buka paha dan dada seperti film pada umumnya di era
tersebut untuk menarik penonton di bioskop. Bayangkan saja produksi film
pertahun mencapai 135 judul film, tapi tak sesuai dengan kualitas film-film
tersebut yang pada era itu masih harus tunduk pada komersialisme pasar. Beliau
juga memberikan pandangan terhadap alm. Teguh Karya yang dimata beliau adalah
sosok sutradara kawakan yang hebat. Ada satu perkataan beliau yang sya ingat
mengenai almarhumah, “Kalau filmnya jelekkan bisa pake nama China, kalau bagus
pake nama Indonesia. Beruntunglah jadi China, karena begitu kau tahu bagaimana
ingin menjadi Indonesia!”, imbuhnya. Beliau juga membandingkan bagaimana peran
teknologi pada saat itu yang tak seperti sekarang, saat itu dengan perlengkapan
dan peralatan yang untuk membuat film sangatlah mahal, karenanya untuk
mengambil adegan itu sebelumnya para pemain harus berlatih berulang-ulang kali
untuk mendpatkan acting yang bagus, karena sang sutradara akan mengomel jika
sampai di take ulang lebih dari 3 kali, sebab itu termasuk ke dalam biaya
produksi. Berbanding terbalik dengan kebanyakan film sekarang, yang justru
karena kemajuan teknologi orang cenderung lebih ingin menjadi terkenal dalam
berkesenian. Karena itu kualitas aktingnya pun tak bagus dan terkesan biasa,
berbeda dengan dulu yang benar-benar harus menjiwai untuk pengambilan akting. Om
Roy menambahkan “Makanya jangan heran, kalo sekarang banyak film yang aneh,
missal Pocong Kesurupan. Udah Pocong Kesurupan lagi (tertawa)”. Lalu Om Slamet
menyebutkan salah satu quote dari seniman legenda Indonesia, Sjumandaja “Orang
yang paling doya rendang itu orang Padang, orang yang paling doyan makan gudeg
itu orang Jogja, orang yang doyan nonton film bodoh itu orang bodoh”, beliau
menambahkan kalau kita tidak bisa menyalahkan cerita yang ada, dibalik itu semua
hanya ada pemain dan sutradara yang bodoh yang membuat film bodoh.
Selanjutnya bagian yang paling saya
tunggu, dibalik pembuatan soundtrack film ini langsung dari Eros Djarot. Beliau
merendah diri kalau dia bukanlah musisi yang pintar membuat lagu, apalagi untuk
film. Itu semua murni karena hasrat ingin berkesenian saja, bahkan pada saat
pertama kali mengisi scorring di film Teguh Karya lainnya, Kawin Lari, itupun
pertama kali beliau membuat musik untuk film. “Nih bikinin musiknya kalo bisa!”
tegas Teguh Karya kepada beliau, itu kata-kata almarhum yang beliau ingat. Om
Eros menyanggupinya, setelah dibuat lalu Om Eros memperdengarkan lagu-lagu
ciptaanya kepada Teguh Karya, sang sutradara tak suka dengan suara cempreng
mengisi bagian vokal pengisinya, yaitu alm.Chrisye, Om Eros menjelaskan kalau
Chrisye itu bagus, tapi Teguh tetap tidak mau. Akhirnya untuk mengganti
Chrisye, suara Broery yang mengisi lagu Merpati Putih kalau tidak salah, tetapi
sang sutradara masih tetap tidak mau dan menyuruh menggantinya lagi. Kareana
kesal akhirnya Om Eros lebih baik mundur dari pada harus mengganti bagian vokal
pada lagu tersebut. Dengan inisiatif Om Slamet menengahi sedikit perbedaan
pendapat tersebut, suatu ketika Om Slamet memainkan lagu Merpati Putih dengan
piano, alm.Teguh Karya seketika menyukainya, akhirnya menemui titik temu kalau
yang mengisi vokal tersebut adalah alm. Chrisye. Tapi pada saat itu Om Eros
juga menerangkan kalau pada adegan film BDP tersebut ada satu bagian bukan
Chrisye yang bernyanyi, melainkan Broery. Bersama Yockie S (Keayboard), alm.
Chrisye (Bass/ Vokal), Berlian Hutauruk (Vokal), Debby Nasution (Guitar),
Keenan Nasution (Drum) dan Fariz RM (Drum) yang dengan formasi ini lebih
dikenal dengan Badai Band, Eros Djarot sebagai arranger akhirnya membuat album
soundtrack ini, yang akhirnya akan menjadi salah satu album revolusioner di
kancah musik Indonesia. Mungkin bisalah album ini disbanding dengan Sgt,
Pepper’s Lonely Hearts Club Band-nya The Beatles. Musik di album ini sangat
berbeda dengan album-album seangkatannya, terutama kekuatan lirik Eros Djarot
yang buat saya ini lebih dari sekedar puisi yang dilagukan. Om Eros sempat
menyesalkan pihak panitia yang sempat mengirim sejumlah uang atas kedatangannya
ke acara tersebut, beliau merasa malu, karena dengan karyanya masih di
apresiasi generasi sekarang saja itu sudah cukup luar biasa bagi beliau. Beliau
juga sempat mengkritik para Dosen yang tak hadir satupun di acara tersebut,
yang jelas ketiga-nya menyayangkan
perihal demikian.
Sesi diskusi berlinjut dengan
pertanyaan dari audience, ada empat orang penanya saat itu, termasuk saya.
Tetapi mungkin karena waktu yang tidak memungkinkan, pertanyaan yang saya
lontarkan tak terjawab. Saya bertanya kepada Om Eros, kenapa di album tersebut
lebih mengajak Fariz RM, Yockie S, Chrisye, Keenan Nasution dan lainnya, kenapa
tidak musisi lain seperti Rinto Harahap atau Benny Pandjaitan?. Apakah karena
ada pengaruh kesuksesan album LCLR 1977 dibalik pengerjaan album BDP dengan
formasi tersebut?. Yang notabene album LCLR 1977 juga orang-orang diatas yang
menjadi pendukungnya.
Segmen terakhir yaitu dalah sesi
dimana para audience untuk bisa berfoto bersama dengan para pembicara,. Saya
sendiri akhirnya bisa meminta ke semua pembicara untuk bersedia melegalisir
album kaset Badai Pasti Berlalu milik saya, ketika Om Eros hendak
menandatangainya, beliau kaget dan berkata “Eh … masih punya album ini”, dan
pada saat itu hanya sekitar 3 orang yang membawa album tersebut. Saya juga
sempat berfoto dengan Om Eros dan Denny Sakrie (jurnalis senior), tetapi tidak
sempat dengan Om Slamet dan Om Roy. Para pembicara juga diberikan sebuah
cinderamata sebagai tanda penghargaan dari pihak panitia. Oh iya, istri Denny
Sakrie, Mike Hendrawati juga menandatangani album saya ini, awalnya dia tak mau
menandatanganinya, tetapi mungkin merasa tak enak diapun bersedia. FYI, tweet
dari Mbak Mike ini menarik, dan saya adalah salah satu followernya.
Badai Pasti Berlalu itu termuat dalam
tiga konten, novel, kaset dan film yang ketiganya sukses. Tercatat di blog
Denny Sakrie, film ini mendapat penghargaan di Piala Citra 1978 dalam 4
kategori, yaitu untuk editing, fotografi, editing suara dan penata musik
terbaik. Film ini juga berhasil menyabet
penghargaan Piala Antemas di ajang Festival Film Indonesia 1979 sebagai film
terlaris 1978 ~ 1979 dan film terlaris ke-2 di Jakarta dengan perolehan jumlah
pennonton 212.551 orang.
Terima kasih kepada Cinema Inclusive
atas inisiatif acara ini, semoga kedepannya bisa lebih melestarikan film, musik
atau warisan seni lain dari jaman dulu sebagai warisan sejarah yang penting,
agar kita tidak amnesia terhadap budaya dan sejarah sebagai bangsa Indonesia.
0 komentar: